Wednesday, October 7, 2009

Sketsa

Tidak tahu mengapa, aku yang lebih memilih mengalah ini, begitu bersikeras terhadapnya, aku tidak tahu mengapa jantungku berdegup kencang ketika mataku bertemu dengannya, dan aku tidak tahu mengapa mukaku panas ketika aku melihatnya tersenyum. Padahal aku sering melihatnya bergandengan tangan dengan seseorang. Seharusnya aku sudah sejak awal mengalah. Tapi mengapa aku tidak melakukan apa pun. Bukan, lebih tepatnya, tidak mampu melakukan apa pun selain berdiri di sisi jalan. Dan aku juga tidak tahu mengapa aku berdiri di situ….


“Hi, kau Seilla kan?”, tiba-tiba seseorang menyapaku. Aku tahu suara ini. Aku sangat mengenalnya. Sebelumnya, suara ini begitu jauh bagiku. Tapi sekarang, dia terdengar dari belakangku. Dengan sedikit kikuk, aku berbalik menghadapnya.

“Hey, aku dengar kau pintar dekorasi. Aku perlu bantuan mu. Yeah, jika kau mau.”, dia meletakkan sebelah tangan di sisi mulut seakan berbisik. Aku senang, karena dia berbicara pada ku. Tapi… dia sama sekali tidak melihat ku. Walau kepalanya mengarah pada ku, bola matanya entah sedang mengamati siapa. Aku tidak tahu saat itu aku harus senang atau sedih. Aku tersenyum seperti biasa. Kuusahakan tersenyum secerah mentari walau aku tidak menghilangkan musim hujan yang turun lebat di mataku.

“Ya. Boleh kok! Untuk apa ya?”, aku berusaha.

“Hm… ada seseorang ulang tahun minggu besok.”, kali ini tangannya diletakkan di belakang kepala, kepalanya mengarah ke arah lain. Seakan dia tidak acuh kalau aku bilang tidak.

“Aku perlu tahu lokasinya.”, aku mencoba menutupi sakit hatiku.

“Ya, nanti kita pergi lihat. Pulang sekolah nanti tunggu aku ya?”, tanpa memberi kesempatan untuk ku menjawab, dia sudah melambai tangan pergi.

“Aku… pulang sekolah nanti akan pergi dengannya.”, otak ku memutar terus kalimat terakhirnya. Itu membuat mukaku panas. Jantungku berdegup cepat. Aku melakukan ini untuk dia. Dan dia… untuk pacarnya.

Saat belajar, aku tidak dapat berkonsentrasi penuh seperti biasanya. Aku demikian menantikan waktu pulang. Menantikan waktu pergi bersamanya. Dan setelah lama aku menunggu, bel berbunyi juga. Aku menyimpan segala peralatan dan berlari kecil ke luar kelas. Baru saja melewati pintu, aku melihatnya berdiri menyandar dinding dengan sebelah bahu menyandang tas. Dia menatap langit-langit seakan berpikir sesuatu. Aku deg-degan lagi. Gaya dan wajahnya… KEREN!!!

Tidak perlu waktu lama untuk membuatnya menyadari keberadaan ku. Lalu kami berjalan kaki pergi. Dia tidak membawa ku dengan motornya. Sehingga cukup lama juga berjalan, kami tiba di sebuah halaman yang besar, dengan rumah putih kecil beratap biru di ujung halaman. Rumahnya memang tidak besar. Tapi susunan peralatan rumah tidak tampak padat. Aku mengagumi orang yang menyusun rumah itu.

“Baiklah. Akan ku buatkan bentuk-bentuknya untuk kau lihat. Jika kau setuju, kita mulai dekorasi.”, aku mengelilingi rumah itu dengan senang. Udara segar masuk dari jendela yang terbuka. Aku menyukai rumah ini.

“Eh! Aku bermaksud mengerjakan bentuk-bentuk dekorasinya bersama mu.”, aku tersentak kaget. Aku melihatnya dan dia hanya bersikap biasa.

“Kenapa melihat ku seperti itu? Tidak boleh?”, tanyanya. Aku gugup lagi.

“Mana mungkin aku mengerjakan pekerjaan dengannya? Aku tidak mungkin konsentrasi.”, pikir ku dalam hati.

“OK. Sudah ditentukan. Nah sekarang, silahkan duduk dan bertanya apa yang ingin kamu ketahui.”, dia duduk di sebuh sofa panjang. Aku mengeluarkan notes kecil sambil duduk di sofa seberangnya.

“A… anu… suka… warna…”

“Krim. Eh, seharusnya warna kesukaannya. Hm… aku kurang tahu. Biasanya cewek suka apa? Dari sudut pandang mu saja. Ku rasa selera dia dan kamu tidak jauh berbeda.”, dia bertanya balik.

“Oh, aku ya? Kuning.”, aku meletakkan pena di dagu ku untuk berpikir. Tanpa ku sadari, pertanyaannya membuat aku yang gugup, biasa kembali.

“Ya, kuning warna yang ceria. Ku rasa dia juga akan menyukai warna kuning.”

“Baiklah. Dinding ini, bisa kita sampuli kain kuning atau di cat kuning saja. Atau bisa juga gorden jendela kita ganti dengan warna kuning. Dan dindingnya kita biarkan dia tetap krim. Kuning dan krim tidak jauh berbeda.”

“Gorden saja kita ubah kuning. Jika dinding di cat kuning, mungkin terlalu terang.”, sesuai usulnya, aku mencatat di notes ku.

“Mungkin kita perlu mendekorasi dengan gantungan, boneka atau bunga. Dia lebih suka apa?”

“Aduuh… apa ya?? Kalau menurut kamu?”

“Eh! Kalo aku gantungan dan boneka.”, dia terus bertanya balik pada ku. Ku rasa dia hanya mencoba agar aku tidak gugup. Tapi…. “Tidak apa-apakah dia mengambil usulku tanpa bertanya pada pacarnya? Dan kenapa dia berlaku seakan tidak tahu menahu?”

“Kalau begitu, kita letakkan boneka di sebagian tempat, dan gantungan di langit-langit.”, aku mencatat lagi usulnya. Perasaan ku terus aneh. Tapi akhirnya hilang juga rasa itu.

Kami duduk di sana hingga sore menyambut. Dia mengantar ku pulang. Ke sekolah dengan jalan kaki, pulang dengan motor. Dia memperlambat kecepatan motornya. Mungkin dia khawatir aku takut. Dia sangat menjaga. Aku ingin berteriak berhenti. Berhenti mempermainkan perasaanku. Semakin dia menjaga, aku semakin menyukainya. Aku mulai berharap -seperti orang biasa yang juga akan berharap pada saat seperti ini- akan sesuatu yang tidak mungkin. Berharap waktu berhenti.

Dear diary,

Hari ini aku mendengar suara tawanya, melihat senyumnya, mengamatinya, merasakan berjalan di sebelahnya, dan duduk di atas motor bersamanya. Tolong beritahu aku, apakah aku senang?

Tapi… begini saja sudah cukup. Membiarkan ku merasakan semua ini, sudah cukup. Sisanya, akan ku ulangi di dalam mimpi-mimpiku.

* * * * *

Seperti biasa, begitu keluar kelas, dia sudah di luar pintu. Kami berjalan kembali ke jalan yang sama. Dan kali ini ku lihat dengan benar tempat itu. Tempat berawal dan berakhirnya hubungan ku dan dia. Jalan sempit berbatu kerikil yang berserakan di jalan. Kiri kanan jalan hanya rerumputan. Di ujung jalan, sebuah halaman besar terbentang gagah. Di akhir halaman, rumah kecil bercat putih berdiri malu-malu di sana. Kami melangkah memasuki halaman. Dia selalu membukakan pintu untuk ku.

Ku lihat isi rumah itu. Di sofa, duduk boneka beruang besar dan dua beruang kecil di kedua sisinya. Berbagai gantungan burung kertas, ikan mainan, menari-nari di depan mataku. Cahaya lampu sedikit redup. Tapi tidaklah menggelapkan ruangan karena cahaya matahari yang terhalangi gorden kuning menyusup sedikit. Di tambah lagi cahaya kecil di atas meja. Sebuah kue ulang tahun. Ternyata dia sudah menyiapkan kue untuk pacarnya. Bunga yang terbungkus indah tergeletak di samping kue.

“Ternyata sudah siap untuk dia… Dia pasti suka. Tapi kenapa menyuruh aku ke sini lagi?”, aku berbalik memandangnya.

“Kamu suka?”, tanyanya kembali.

“Indah.”

“Bagus.”, dia tersenyum puas. Mungkin dia ingin aku mengecek kesiapannya.

“Kalau begitu, aku pulang ya!”, aku berjalan keluar. Hatiku sakit memikirkan, aku melakukan ini untuk dia. Tapi dia, untuk pacarnya.

“Tunggu, Seilla! Met ultah. Ini semua untuk kamu kok! Masa ultah sendiri ga tahu?”, kata-katanya menghentikan langkah ku. Aku mengambil hp dan melihat kalender. Ya, hari ini ulang tahun ku. Tapi…

“Kamu tidak perlu membuat bohongan seperti itu....”, aku memaksa diri tersenyum. Walau aku sudah tidak mampu membendung air yang ingin mengalir keluar dari mataku.

“Sebenarnya… aku selalu mengamati mu. Aku sering melihat mu di depan kelas. Aku ingin menghampiri mu dan berbicara. Tapi aku tidak tahu topik apa yang bisa ku angkat.”, dia terdiam sebentar. Mengetahui aku juga diam, dia melanjutkan, “Aku bersama dia karena aku tidak ingin menyakiti hatinya. Dia bilang dia menyukai ku. Dan aku hanya…”

“CUKUP!! Jangan bohongi aku, ku mohon… begini saja bagi ku sudah cukup. Benar-benar cukup… Jangan terbangkan aku dengan rayuanmu. Lalu jatuhkan aku dengan melihatmu bersama dia.”, aku memotong pembicaraannya. Setelah itu berlari pergi.

Aku menyukainya. Sangat… sangat. Tapi, aku lebih memilih menderita diam-diam seperti dulu. Daripada menyadari dia tersenyum, berjalan dengan orang lain di samping bersama ku. Aku tidak kuat disakiti begitu.

“AKU MENYUKAI MU,SEILLA!! Kamu dengar??”, teriaknya dari seberang jalan. Aku memandangnya di antara kendaraan yang berlalu lalang sambil berusaha menghapus deraian air mata.

“BRUUK!”, aku nyaris gila. Aku berteriak-teriak. Dengan mata kepala sendiri, aku melihat dia tertabrak. Pada hari ulang tahun ku, saat menyatakan suka pada ku, detik melangkah menyeberangi jalan, ingin mendatangi ku. Aku penyebab dia tertabrak.

* * *

Lama… terasa sangat-sangat lama aku duduk di sana. Dengan cemas, dengan rasa bersalah, dengan pengakuan sebagai pelaku… Aku menangis dan terus menangis. Aku tahu mata ku lelah, mulai sakit tapi air mataku mengalir terus. Dia masih di dalam ruang pengobatan dan aku tidak tahu dia bagaimana sekarang.

“Keluarga pasien dipersilakan masuk.”, aku berlari memanggil namanya. Begitu sampai di sisi tempat tidurnya, dia berkata, “Seilla… aku akan berubah. Aku tidak akan begitu lagi. Aku…”, aku menempelkan jari telunjuk pada mulutnya. Aku tersenyum.

“Ya, aku tahu. Mata mu sudah mengatakan semuanya. Aku akan menunggu. Hingga di dalam mata mu, seperti sekarang ini, hanya memuat diri ku seorang.”, aku tersenyum. Mungkin karena melihat senyum ku, dia juga tersenyum.

Vanilla

1 comment:

vanilla said...

sigh keq ga da jalan penyelesaian laen za =.=