Saturday, September 12, 2009

Loss

Sungguh susah mencari alasan untuk seorang calon dokter berkeliaran di arena jurusan matematika. Ya, jika bukan karena seseorang beraura tenang, yang memiliki senyum lembut, yang saat pertama kali bertemu, nyaris dipanggil Cinderella itu. Bob memeras otak tajam yang biasanya digunakan untuk menghafal sekian ratus nama tulang manusia, untuk mencari alasan melewati kelas itu dan mengamati putri abad baru.
Suasana kelas sedang ribet. Semua perhatian siswa terfokus pada grafik dan pencarian statistika, namun tidak Rin. Dia tidak dapat mengabsenkan keberadaan seseorang yang selalu datang pada saat-saat seperti itu. Orang itu selalu mengamati ke arah dalam kelas, hingga Rin mulai cemas jika ada seseorang yang diamati dalam kelasnya oleh orang itu.
Belum pernah terjadi hal seperti ini sebelumnya. Konsentrasi Rin pada rumus matematika, seperti lem super yang tidak mungkin dialihkan. Namun orang itu cukup datang, melihat dengan mata birunya yang tajam, arus listrik seperti mengalir dari mata itu, dan akhirnya Rin terperangkap. Sekarang ini, lem super beralih dari rumus matematika pada orang itu. “Seseorang, bantulah aku, sebelum aku kehilangan matematikaku. Tolong!”, teriak Rin dalam hati sambil memejamkan mata erat-erat, mengembalikan pikirannya dengan kasar dari orang yang telah pergi itu pada grafiknya.
Rin mulai bersyukur memenuhi permintaan temannya untuk menjaga perpustakaan selama 3 minggu. Hari pertama, seseorang datang dan meletakkan setumpuk buku tebal lalu membongkar-bongkar tasnya. Rin mengamati orang itu mencari kartu perpustakaannya. Ketika orang itu berhasil menarik sebuah kartu putih, kepalanya terangkat dari dalam tas, dan Rin melihat mata biru berarus listrik itu. Setelah saat itu, Rin mulai menyadari orang itu selalu melewati kelasnya. Pada saat dia menjaga perpustakaan, orang itu juga di sana.
“Aku tidak ingat kau penjaga perpustakaan,” lagi-lagi Bob kehilangan kartunya. Dia harus mendapatkan kartu itu jika dia tidak mau berlari pulang dan kembali lagi untuk mengambil buku yang dipinjamnya atau mengeluarkan semua isi dompetnya untuk buku-buku tebal sialan ini.
“Temanku shock mengurung diri dalam tumpukan buku. Jadi aku menggantikannya untuk sementara waktu,” Rin tidak berbohong dalam masalah itu. Begitulah kata temannya. Walau sedikit kurang logis, Rin menerima saja. Toh, dia senang menghabiskan waktu dengan buku dan tidak perlu meminjamnya.
“Hahaha.... Wah, kalau begitu, setelah shocknya selesai, aku akan sulit bertemu dengan mu lagi.”, Rin membelalakkan mata, terkejut. “Apa maksud kalimat itu?”, batinnya.
“Aku....,” Bob berusaha keras mencari kata-kata yang tepat. “Sebelumnya aku memang tidak jarang kemari untuk mencari buku. Namun belum pernah aku segila seperti akhir-akhir ini, sampai seakan aku berpacaran dengan buku-buku bahasa latin sialan. Dan aku juga tidak pernah tertarik dengan matematika sebelumnya. Tapi sekarang, ntah apa yang merasuki ku, aku mulai merasa jika 1+1 itu unik,” Bob mengalihkan pandangan ke bawah. Dua kali saja hal ini terjadi, Bob berani bersumpah jantungnya akan berhenti untuk selama-lamanya.
“Rin”, Bob sendiri tidak tahu apa yang telah dan ingin dilakukannya. Yang jelas, sekarang dia sedang menggenggam sebuah tangan lembut. Dan pemilik tangan ini, jelas-jelas terkejut.
“Rin, beritahu aku. Apa yang mempengaruhi ku hingga aku jadi tidak tentu arah seperti ini? Mengapa aku merasa begitu membutuhkan mu dan begitu ingin kau menjadi pacarku?”, Bob mengangkat kepala menatap Rin dengan pasti.
Rin nyaris kehilangan keseimbangan ketika disadarinya Bob mengenggam tangannya dengan tatapan yang mematikan seluruh keraguan. Namun Rin berhasil berdiri tegap dengan bertumpu pada meja. “Mungkin ku rasa, satu-satunya alasan karena... aku mencintaimu”, sambung Bob yang berhasil membuat Rin tersenyum dengan wajah merona.
“Bob, aku senang kau mengatakan itu. Bukan. Aku berharap kau mengatakan itu. Oh, Bob. Ungkapan cintamu terlalu indah. Siapa yang sanggup menolak mu?” Rin ingin berteriak senang. Namun suaranya malah melembut.
Untuk beberapa saat Bob hanya menatap Rin. Rin menebak Bob terkejut mendengar jawabannya. Ya, bagaimana tidak? Rin selalu dengan kasar memperingatkan dirinya membuang muka saat tatapan mereka bertemu. “Kau membuat ku susah untuk melepaskanmu lagi”, Bob menarik Rin keluar dari penjagaan.
“Bob. Aku sedang menjaga...”, Rin berteriak, terkejut.
“Lupakan itu”, Bob memotong pembicaraan Rin.
Bob gila. Namun Rin senang melakukan hal-hal gila seperti itu, Dan dia yakin, hanya Bob yang bisa melakukan ini. Bob bukan tipe orang yang mengikuti aturan, melakukan hal-hal tidak logika seperti menarik Rin bermain basket bersama serombongan anak kecil dan makan keripik kentang di cabang batang sebuah pohon sambil menikmati matahari terbenam.
Seumur hidup, Rin tidak pernah merasakan bagaimana rasanya makan sebungkus keripik kentang di bawah sebatang pohon cempaka. Rin juga tidak pernah tahu betapa kekanak-kanakan dia ketika bermain dengan anak kecil, memperebutkan sebuah bola basket. Rin juga tertawa seperti baru pertama kali ini memegang bola setelah berhasil merebut bola dari seorang anak atau marah-marah setelah ntah keberapa ratus kali bolanya direbut anak lain. Namun dia merasakannya untuk pertama kali ini bersama Bob dan dia merasa beruntung. Rin menggerutui keripik kentang yang terlalu sedikit dan matahari yang terlalu cepat terbenam.
“Ah, itu masa lalu,” Rin menatap sayu dirinya dalam cermin. Sebuah hp Nokia 66 tergenggam di tangannya. Sebuah kalimat penuh penyesalan, dibacanya berkali-kali. “Rin, maafkan aku. Ku rasa, kita tidak cocok. Aku sudah berusaha menyesuaikan diri pada mu. Tapi maafkan aku, aku tidak mampu. Tapi aku merasa senang pernah memiliki mu. Sungguh....”
“Teganya kau. Bagaimana kau bisa melakukan ini terhadap ku? Bukankah baru tiga hari sebelumnya kau menyatakan suka pada ku? Apakah aku tidak cukup untuk dicintaimu? Atau apakah Bob seorang playboy??”, Rin menghitung wanita yang memanggil dan berjalan di samping Bob yang memecahkan rekort setiap harinya. Kadang, Rin juga sering berlagak mesra dengan pria lain dihadapannya. Sekarang, setiap pertemuan, mereka selalu berpura-pura. Kenal, tapi tidak saling menyapa. Hanya memakukan bola mata pada diri lain. Tidak tahu mengapa dan untuk apa melakukan ini semua, sekedar sandiwara.
Sebenarnya, dalam sebuah SMS yang singkat, telah berakhir antara Rin dan Bob, tidak akan ada lagi pengulangan. Rin tahu itu. Tapi hati kecilnya seakan masih dalam penantian, menanti kembalinya Bob. “Ah, aku termenung. Rin, itu hanya kegilaanmu belaka. Dia sudah menjadi layang-layang yang terputus, tidak akan kembali,” Rin memperingatkan dirinya untuk kesekian kali.
Rin bangkit dari bangku kemudian bertemu Raph di koridor. Raph selalu lucu. Setiap ucapannya, mampu membuat Rin yang menangis, tertawa. Rin bersenda gurau dengannya sebentar, kemudian Raph pergi dan Bob datang. Bob tidak mengalihkan pandangan dari Rin. Tatapannya setajam pisau yang mampu memotong Rin menjadi 8 potong saat itu juga jika dia mau. Tidak tahu apa yang mendorong Rin, Rin ingin lari. Maka, Rin melangkah dengan langkah yang besar, mencoba melewati Bob. Tapi Rin tidak berhasil melakukan apapun selain diam ketakutan ketika Bob mencegatnya.
“Aa... apa yang... kau... inginkan?”, Rin ingin berteriak saat itu. Tapi suaranya seperti tertahan ditenggorokan. Sehingga suaranya hanya bisa dengan jelas menampilkan ketakutannya.
“Raph lagi pacarmu sekarang?”, Bob menatap mata Rin. Itu membuat Rin lemah. Mata biru Bob, tajam dan melemahkan, Rin sepenuhnya jatuh cinta pada mata Bob.
“Aa... aku tidak pernah pacaran lagi setelah... kau”.
“Rin, aku akan gila jika begini terus,” mata Bob yang tajam, yang berapi tadi, melembut.
“Aku pikir, aku akan kehilangan nafas jika harus berhadapan dengan orang lugu dan kau yang pintar dalam matematika, tapi lugu dalam kehidupan. Tapi, melihatmu bersama orang lain, benar-benar membuat ku kehilangan akal. Apa yang kau lakukan pada ku? Mengapa aku bisa begitu menyukai mu yang lugu disamping keluguan adalah larangan dalam hidupku?”, keheningan merambat sebentar. Bob menatap Rin dengan lemah. Dan Rin masih mencerna keajaiban yang datang begitu tiba-tiba.
“Aku kalah. Aku tidak bisa menghilangkan keberadaanmu. Aku bahkan mencemburui semua pria yang berada di samping mu. Ah, ini lucu. Aku tidak mungkin bisa mengatakan bahwa aku menyukai mu, bukan? Tidak mungkin meminta mu kembali pada ku. Itu tidak mungkin”, Bob melepaskan tangan kirinya, memutar badan ke arah kanan, lalu menyandar pada dinding sambil tersenyum memandang langit-langit. Seakan meratap pada kekalahannya.
“Aku ingin menjaga kenangan ini selamanya. Tolong, jangan pecahkan kenangan rapuh ini. Ku mohon, Bob. Maafkan aku”, Rin ingin menangis, ingin tertawa, ingin bersyukur pada saat itu. Rin ingin Bob tahu bahwa dia masih menunggunya. Bahwa selama ini, betapa Rin ingin memutar waktu. Tapi Rin mengurungkan niatnya dan berlari secepat mungkin menjauhi orang yang sepenuhnya mampu mempengaruhinya itu. Hanya ini yang dapat dilakukannya. Walau dia akan seperti orang bodoh, itu akan lebih baik daripada mencintai dan kehilangan Bob untuk kedua kalinya. Karen Rin sadar, keluguannya dan kebencian Bob tidak mungkin berjalan bersama.
“Seharusnya aku yang mengatakan itu. Maafkan aku, Rin. Aku... menyukaimu lebih besar dari membenci kekuranganmu. Ah, akhirnya aku tidak mengatakan itu”, Bob memandang ke samping, melihat Rin yang berlari pergi. Bob tersenyum dalam kehilangan bahasa.
Vanila

1 comment:

vanilla said...

ow GOD!! ga sanggup lagi bacanya. pgen hapus laa :(